Pumpunan – Agama dan budaya merupakan dua aspek penting dalam kehidupan manusia. Bagi para perantau, menjaga agama dan budaya di negeri orang merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan. Keduanya memberikan identitas, nilai-nilai, dan pedoman hidup bagi individu dan masyarakat.
Namun, ketika berada di perantauan agama dan budaya yang diyakini dan diwarisi dari leluhur dapat memudar bahkan mungkin hilang. Individu di perantauan mungkin mengalami diskriminasi dan rasisme karena agama dan budaya yang dianut mereka berbeda jauh dengan orang yang ada di lingkungan sekitar. Hal ini dapat membuat mereka merasa terisolasi dan tidak diterima sehingga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional. Lalu secara perlahan mereka beradaptasi dengan agama dan kebudayaan orang-orang di sekelilingnya serta meninggalkan atau bahkan melupakan agama dan kebudayaan yang dianut sebelumnya.
Baca Juga: Kisah Nama John Kenedy Azis pada Presiden Amerika Serikat
Mungkin ini yang dirasakan oleh John Kenedy Azis (JKA) muda saat memiliki keinginan kuat kuliah jurusan hukum di perguruan tinggi di Bandung, Universitas Parahyangan. Universitas yang saat itu menjadi perguruan tinggi terbaik di bidang hukum, karena di sana terhadap bapak hukum perdata Prof. Subekti. Perguruan tinggi itu banyak melahirkan advokat terbaik dan terkenal saat ini.
Bandung kala itu bagi JKA mungkin merupakan hal baru khususnya budaya dan mungkin kebiasaan pemuda di sana juga berbeda. Hal tersebut mungkin menjadi kegamangan bagi JKA muda karena takut nilai agama Islam yang diajarkan orang tua dan budaya Piaman (sebutan untuk daerah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman) bisa menjadi luntur.
Oleh karena itu, sama dengan seorang anak pada umumnya, sebelum berangkat merantau untuk menuntut ilmu tokoh yang suka dipanggil Ajo ketika di luar forum resmi ini meminta petuah kepada sang ayah, Bagindo Azis.
“Kamu lihat pohon kelapa yang condong di depan rumah kita itu,” kata John Kenedy Azis menurunkan kalimat ayahnya ketika menceritakan gaya petuah yang diberikan oleh sang ayah.
“Kenapa dia tidak tumbang? Itu karena akarnya kuat sehingga seperti apapun ingin yang menerpa dia tetap kokoh berdiri,” lanjutnya menirukan lagi.
Sang ayah, meminta JKA terus menegakkan shalat dan ilmu agama yang diajarkan semenjak kecil kepadanya. Dan tidak lupa dengan asalnya dari kampung dan kebudayaan Piaman yang melekat pada dirinya.
“Ayah orangnya tegas mendorong kami di bidang pendidikan dan agama,” katanya.
Tidak heran meskipun di menempuh pendidikan tinggi yang mungkin bergaul banyak dengan orang beragama non Islam namun ia tetap menjaga keimanannya tanpa harus menjaga jarak dengan orang disekitarnya. Bahkan ketika berada di DPR RI dia meminta kepada partai agar diposisikan di Komisi VIII agar bisa membantu membangun sarana ibadah dan pendidikan Islam di daerah pemilihannya.
Ia pun marah ketika orang Piaman tidak memanggil dia dengan sebutan Ajo karena menurutnya hal itu salah satu yang menjaga identitasnya sebagai orang Piaman dimanapun berada dan berapa lama pun meninggalkan kampung halaman.
Jangan minta tokoh yang sudah merantau puluhan tahun itu berbahasa Padang karena ia tidak bisa. Namun cobalah ajak dia bahasa Piaman. Kental. Tidak sedikit pun campur dengan bahasa Indonesia yang tentunya telah digunakannya selama puluhan tahun ini setiap hari.
Cerita lainnya, ia meminta anaknya agar cucunya diberi nama bagindo. Hal itu dilakukannya agar keturunannya tidak lupa asal mereka dari Piaman. Nama tersebut sama dengan gelar ayahnya yaitu bagindo.
“Saya sudah puluhan tahun merantau, namun kebudayaan Piaman secara khusus dan Minangkabau pada umumnya pada diri saya, tetap harus terus saya pelihara dan pertahankan,” kata dia.
Bahkan, putra Batu Gadang, Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang Pariaman tersebut juga hadir saat musyawarah pendirian Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) yang saat ini dia sebagai ketua umumnya.
“Saya ketika itu masih kuliah di Bandung, diajak mamak untuk ikut musyawarah pembentukan PKDP di rumah Basyaruddin Akbar di Jakarta,” cerita John Kenedy Azis.
Dari musyawarah yang diikuti 40 orang dan dikomandoi oleh Pak Anas Malik itu lahirlah PKDP. Seluruh organisasi orang Piaman di rantau diminta berada pada satu organisasi yakni PKDP.